• Sen. Okt 14th, 2024

Wali Raja Raja Wali Sebuah Teater Respon Zaman Emha Ainun Nadjib Hinggap di Jakarta

Sebuah karya lahir karena keresahan sang kreator dalam menyikapi zaman. Kita bisa menyaksikan ada banyak karya seni yang muncul sebagai sebuah respons dari sang seniman untuk merespons zaman. Banyak karya seni yang pada akhirnya juga mewakili keresahan publik, sehingga dengan ditampilkannya sebuah karya seni itu, masyarakat merasa terwakili karena keresahan yang dirasakan akhirnya diungkapkan. Mulai dari sebuah poster, karikatur, puisi, esai, komedi tunggal hingga teater.

Tahun 2022 ini Emha Ainun Nadjib kembali muncul dengan sebuah karya naskah teater. Setelah sebelumnya di awal 2022 ini Emha bersama Reriyungan 3 generasi Teater di Yogyakarta mementaskan “Mlungsungi” selama 2 hari di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta lalu berlanjut di Padhangmbulan, Menturo, Jombang. Kini, Emha bersama Teater Perdikan dan Gamelan KiaiKanjeng kembali hadir melalui sebuah naskah anyar; “WALIRAJA – RAJAWALI” yang akan dipentaskan di Plaza Teater Besar, Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 13 Agustus 2022, secara kolosal dan terbuka. Sebagaimana dilansir dari Caknun.Com

Bagi Emha, teater bukanlah sebuah industri. Teater adalah salah satu media untuk menyampaikan pesan, merespons zaman, menyikapi situasi. Sebagai tetenger sedang terjadi apa, dan apa yang akan terjadi. Teater bukan sekadar pemberi kabar, bukan juga hanya soal pertunjukan. Tentu sebuah pertanyaan besar kenapa Emha Ainun Nadjib merasa harus menggelar 2 pementasan dengan naskah dan tema yang berbeda?

Tercatat, Emha sebelumnya mementaskan SENGKUNI2019 (2019) , Nabi Darurat Rasul Ad Hoc (2012) dan Tikungan Iblis (2008). Jauh sebelum dua naskah itu, Emha pernah mementaskan Lautan Jilbab (1987), Geger Wong Ngoyak Macan (1989), Santri-Santri Khidir (1990), Perahu Retak (1992), Pak Kanjeng (1993). Seluruh naskah teater yang ditulis Emha tersebut bukan dalam rangka pementasan yang bersifat komersiil. Namun lebih dari itu, Emha merespons zaman, menyampaikan pesan melalui karya-karya teater yang ia tulis sendiri naskahnya.

Lautan Jilbab begitu fenomenal, tidak hanya dipentaskan di Yogyakarta saja, beberapa kota seperti Surabaya dan Makassar pernah menjadi saksi pementasan Lautan Jilbab. Bahkan ketika dipentaskan di Stadion Wilis, Madiun, tercatat 35.000 penonton menyaksikan pementasan tersebut. Emha melibatkan 1.000 pemain teater dalam pagelaran Lautan Jilbab saat itu.

Pak Kanjeng dan Geger Wong Ngoyak Macan adalah dua di antara sekian naskah Emha yang dipentaskan untuk mengkritik penguasa Orde Baru. Kebijakan-kebijakan penguasa saat itu sangat tidak berpihak kepada rakyat. Dan Pak Kanjeng sendiri adalah respons terhadap kesemena-menaan rezim Orde Baru ketika membangun waduk Kedung Ombo. Bukan hanya itu saja, Emha dengan beberapa sahabat turun langsung menemani masyarakat di desa yang digusur dalam rangka pembangunan waduk tersebut. Atas karya-karya teater yang dipentaskan pada masa kekuasaan Orde Baru itu, Emha banyak dicekal dan dilarang tampil di beberapa daerah di Indonesia. Emha sama sekali tak bergeming.

Tikungan Iblis dan juga Nabi Darurat Rasul AdHoc pun muncul sebagai kritik sosial yang dihadirkan oleh Emha melalui pementasan teater dalam menyikapi zaman yang semakin semrawut. Melalui dua naskah tersebut, Emha mengajak masyarakat untuk kembali mengutamakan menilik dalam dirinya sendiri untuk dihakimi, bukan justru menghakimi orang lain. SENGKUNI2019 hadir untuk menyadarkan kita semua bahwa ada sudut pandang lain tentang Sengkuni yang selama ini selalu kita tunjuk sebagai antagonis dalam drama besar kehidupan ini. Ada hal yang lebih dalam yang disampaikan oleh Emha melalui SENGKUNI2019 tentang siapa sosok Sengkuni itu sebenarnya.

Tahun 2020 lalu, Emha sebenarnya sudah menyiapkan juga sebuah naskah dengan judul Sunan Sableng Paduka Petruk yang sedianya akan dipentaskan secara kolosal di Plaza Teater Besar Jakarta. Semua persiapan teknis sudah siap, namun akhirnya pandemik covid-19 memaksa naskah tersebut urung dipentaskan.

Lalu, tahun ini Mlungsungi muncul untuk menyampaikan pesan yang sangat tersirat, bahwa sejatinya manusia itu juga harus selalu melewati proses Mlungsungi setiap hari. Terlebih, naskah tersebut dipentaskan setelah 2 tahun kita menjalani masa pandemik, seharusnya momen jeda 2 tahun itu sangat cukup menjadi momen “lahir kembali”-nya kita. Apakah kita benar-benar lahir kembali? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Yang spesial dari Mlungsungi adalah bahwa Emha melibatkan 3 generasi komunitas teater di Yogyakarta, sehingga semangat reriyungan menjadi mesin utama kesuksesan pementasan tersebut.

Lantas, bagaimana dengan WALIRAJA-RAJAWALI ini? Kita sangat familiar dengan diksi Wali, Raja, dan Rajawali. Bukan, bukan tentang nama grup band tentu saja. Kita mengenal ada Wali Sanga yang sangat melegenda. Ada banyak kerajaan-kerajaan di Indonesia yang sampai hari ini masih eksis dipimpin oleh Raja-Raja mereka. Rajawali, salah satu burung pemangsa daging yang juga kita cukup mengenalnya. Namun, WALIRAJA?

Melalui naskah ini, agaknya Emha ingin mengajak kita kembali untuk melakukan refleksi dalam diri dan batin kita. Sebagai Bangsa Indonesia yang dulunya dikenal sebagai Bangsa Nusantara adalah sebuah Bangsa yang tidak kalah peradabannya dari bangsa-bangsa lain di dunia. Bangsa ini bahkan saat ini memiliki lambang Garuda yang selalu dibangga-banggakan. Bangsa Garuda ini seharusnya memiliki mental baja sebagai Bangsa yang kuat. Tidak hanya secara komunal rakyatnya, namun juga secara martabat Negaranya.

Mungkinkah memang Bangsa ini membutuhkan seorang Wali yang sekaligus juga mampu berperan sebagai Raja. Wali yang Raja dan Raja yang Wali. Bukan sekadar seorang Wali yang mengayomi, dan bukan hanya seorang Raja yang berkuasa. Tetapi, WaliRaja yang mampu mengejawantahkan sosok pemimpin yang sejati, yang berkuasa tetapi tidak serakah, namun mengayomi dan menyayangi rakyatnya, mampu merangkul semua pihak, sehingga sebagai Bangsa akan mampu menjadi Bangsa RajaWali. Bangsa yang Raja namun juga Wali.

Dua tahun lagi, di 2024 Bangsa ini akan kembali menggelar hajatan besar bernama Pemilu. Hajatan yang juga sering disebut sebagai Pesta Politik 5 tahunan. Pesta rutin yang ternyata dalam beberapa edisi hanya melahirkan perpecahan demi perpecahan antar sesama anak bangsa. Perpecahan demi perpecahan yang setiap hari justru diperuncing oleh sebagian kecil bangsanya sendiri.

WALIRAJA-RAJAWALI semoga hadir sebagai salah satu bekal kita semua untuk menyambut tahun 2024 nanti.

Naskah WALIRAJA-RAJAWALI karya Emha Ainun Nadjib ini akan dipentaskan oleh Teater Perdikan dengan iringan musik Gamelan KiaiKanjeng dan disutradarai oleh Jujuk Prabowo. Pagelaran ini akan dihelat secara kolosal dan terbuka pada 13 Agustus 2022 mulai pukul 19.00 WIB di Plaza Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta.

Tinggalkan Balasan