“Penggembira itu apa to, Pak Bei,?” tanya Sasa melihat Pak Bei hadir di teras.
“Kok tanya Penggembira, ada apa?” tanya balik Pak Bei sambil meletakkan nampan berisi dua gelas kopi yang baru saja dibuatnya. “Ayo kita ngopi dulu, Sa,” Pak Bei mengajak sahabatnya menikmati kopi andalannya, Kopi Pak Bei.
Suara anggungan tiga burung perkutut masih bersahutan, sesekali ditimpali suara derkuku yang seakan tak mau kalah menunjukkan eksistensinya di pagi hari. Lalu-lalang kendaraan di jalan depan nDalem Pak Bei juga semakin ramai. Mereka orang tua yang mengantar anak-anaknya ke sekolah, atau para pekerja pabrik garment di Boyolali yang tampak kesusu karena takut terlambat datang sehingga kena sangsi, dan para petani menuju habitat di sawahnya masing-masing.
“Kemarin usai Jumatan saya ikut ngobrol di serambi mesjid. Gayeng banget,” kata Sasa.
“Ngobrol soal apa?”
“Soal Muktamar Muhammadiyah di Solo bulan November nanti, Pak Bei. Jamaah kami ingin datang ramai-ramai sebagai Penggembira, katanya. Lha saya kan gak paham maksudnya apa. Waktu saya tanya, teman-teman malah nyuruh saya tanya langsung ke Pak Bei yang jadi Panitia. Makanya saya ke sini pagi ini.”
“Ooh begitu. Ya syukurlah kalau jamaah mesjidmu juga mau datang ke Solo. Muktamar ke-48 kali ini memang luar biasa kok, Sa.”
“Luar biasa bagaimana?”
“Yah kan rencananya Muktamar ke-48 dilaksanakan pada Juli 2020. Semua persiapan sudah dilakukan panitia dengan sangat baik. Gedung Edutorium yang sangat megah pun sudah dibangun dengan dana tiga ratusan milyar sebagai tempat penyelenggaraan. Ibarat tinggal pencet tombol Muktamar sudah berjalan, eeh tiba-tiba pandemi covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia. Mau tidak mau Muktamar ditunda entah sampai kapan.”
“Wah iya ya, pandemi kemarin memang nggegirisi tenan. Banyak jatuh korban di mana-mana.”
“Alhamdulillaah kini pandemi sudah berlalu, Sa. Sidang Tanwir PP Muhammadiyah pun sudah memutuskan untuk melaksanakan Muktamar di Solo ini pada 18-20 November 2022 secara luring.”
“Jadi diundur 2 tahun lebih, ya.”
“Iya, Sa. Ini mirip Muktamar di Solo 37 tahun yang lalu.”
“Pernah diundur juga to?”
“Pernah, Sa. Di Solo juga. Dulu, seharusnya Muktamar diselenggarakan pada 1983, tapi karena saat itu Pemerintah Orde Baru mewajibkan seluruh ormas, termasuk ormas Islam, harus berazaskan Pancasila, maka terpaksa penyelenggaraan Muktamar ditunda hingga tahun 1985. Maklumlah, waktu itu Muhammadiyah harus melakukan kajian yang matang dan mendalam menghadapi Azas Tunggal yang dipaksakan itu.”
“Jadi kalau dulu penyebabnya Azas Tunggal, sekarang karena pandemi covid, ya?”
“Betul, Sa. Ternyata untuk bisa jadi tuan rumah Muktamar lagi, masyarakat Solo harus menunggu 37 tahun, dari 1985 hingga 2022. Makanya Panitia mempersiapkan Hajatan Akbar ini juga sangat serius.”
“Konon Muktamar nanti akan dihadiri sekitar 2 juta orang bahkan mungkin lebih, Pak Bei?”
“Insya Allah begitu, Sa. Kalau Peserta resmi Muktamar alias Muktamirinnya saja hanya sekitar 6.000 orang. Selebihnya ada jutaan Penggembira, alias jamaah atau anggota dan simpatisan Muhammadiyah, dari berbagai penjuru akan hadir tumplek-blek ke Solo secara berombongan.”
“Ooh jadi yang dimaksud Penggembira Muktamar itu orang-orang yang datang bukan sebagai peserta Muktamar, ya.”
“Betul, Sa. Kita tahu, sudah lama semua orang harus diam di rumah karena pandemi. Ke mana-mana dibatasi. Anak-anak sekolah dan mahasiswa belajar di rumah. Pegawai-pegawai bekerja dari rumah. Baru beberapa bulan terakhir ini orang sudah bebas bepergian, tapi harus sudah divaksin anti-covid tiga kali.”
“Ya itulah, Pak Bei. Mumpung sudah bisa bepergian, ini saatnya orang ramai-ramai.ke Solo. Bukan hanya untuk dolan atau plesiran, tapi untuk silaturahmi dengan saudara-saudaranya seiman dan seperjuangan dari berbagai penjuru negeri,” kata Sasa yang tampaknya sudah mulai paham.
“Banyak juga yang dari Luar Negeri lho, Sa.”
“Ada juga dari Luar Negeri?”
“Insya Allah banyak, Sa. Saat ini Muhammadiyah sudah ada setidaknya 14 Cabang Istimewa di Luar Negeri. Sasa juga harus ikut bangga, Cabang Istimewa di Australia sudah berhasil mendirikan Perguruan Muhammadiyah, muridnya juga banyak. Di Malaysia, kita juga sudah mendirikan Perguruan Tinggi Muhammadiyah di sana. PCIM yang lain juga sedang memproses bikin lembaga pendidikan di negara setempat.”
“Wah hebat, ya. Muhammadiyah mendunia. Beruntunglah aku ini….”
“Beruntung bagaimana?”
“Looh…jelek-jelek begini aku kan juga lulusan SMP Muhammadiyah 2 Jatinom, Pak Bei. Sama seperti Sampeyan. Dulu kita sama-sama dilatih drum band oleh Pak Mas’ud almarhum.”
“Iya ya, Sa. Dulu mayoret kita kemayu banget, namanya Purwanti, panggilannya Eblek.”
Dua sahabat seperguruan itu pun tampak ketawa-ketiwi mengenang masa-masa indah sekolah di depan Mesjid Gedhe Jatinom, Klaten. Bila waktu istirahat, sering mereka main di makam Ki Ageng Gribik alias Maulana Malik Maghribi, salah satu Walisanga yang memilih Jatinom sebagai basis dakwahnya pada abad 14-15. Kelak keturunannya yang ke-11 menjadi ulama besar di Kraton Yogyakarta dan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah yang menggurita hingga saat ini, K.H. Ahmad Dahlan.
“Pak Bei, yang mau hadir sebagai Penggembira Muktamar nanti apakah perlu mendaftar dulu ke Panitia?,” Sasa yang selalu ingin tahu itu bertanya lagi pada Pak Bei.
“Kalau yang dadi dekat-dekat sini aja kupikir gak perlu, Sa. Toh tidak perlu cari penginapan. Kalau yang dari jauh, dari Luar Jawa misalnya, sebaiknya segera menghubungi Panitia supaya dibantu cari penginapan untuk rombongan dan disiapkan pemandu bila ingin jalan-jalan/wisata di seputar Solo Raya dan Yogyakarta.”
“Panitia sudah nyiapkan penginapan untuk Penggembira, to?”
“Insya Allah sebagai tuan rumah, Panitia sudah siap menerima dan menjamu tamu-tamunya, Sa. Penginapan sudah disiapkan, baik di lokal-lokal sekolah maupun di hotel-hotel yang tidak dipakai untuk penginapan Muktamirin. Semua sudah dibooking.”
“Alhamdulillaah, terima kasih infonya, Pak Bei. Akan saya kasih tahu saudara-sudara saya yang di luar kota dan luar Jawa. Mereka juga mau datang ke Solo, katanya.”
“Baiklah, Sa. Sudah agak siang ini. Kamu harus ngurusi parkiran, kan?”
“Siap, Pak Bei. Pamit dulu, nggih.”
Kedua sahabat glenak-glenik itu pun berpisah untuk ngurus pekerjaannya masih-masing.
#seralpakbei
#wahyudinasution
#panitiamuktamarke-48
Wahyudi Nasution, Ketua Seksi Syiar Muktamar ke-48